Category: Renungan


ARTIKELUNCATEGORIZED·18/03/2024

Perbuatan yang Dapat Mengurangi Pahala Puasa: Menghindari Jatuh ke Dalamnya. Puasa adalah salah satu kewajiban utama umat Muslim di bulan Ramadan. Selain menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa juga mengajarkan kepatuhan, kesabaran, dan kebersamaan dalam kebaikan. Namun, dalam pelaksanaannya, ada beberapa perbuatan yang bisa mengurangi pahala puasa, bahkan hingga membatalkannya sama sekali.

Berikut adalah beberapa perbuatan yang perlu dihindari agar pahala puasa tetap terjaga:

Berbohong atau Berkata Dusta

Menjaga kejujuran dalam segala aspek kehidupan merupakan bagian penting dari ajaran Islam, dan bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan kesadaran akan hal ini. Selama puasa, kita harus memperhatikan tidak hanya apa yang kita ucapkan, tetapi juga tindakan kita. Berbohong atau melakukan tindakan yang tidak jujur tidak hanya merugikan diri sendiri. Tetapi juga merusak nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam agama kita.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan kebohongan dan perbuatan yang buruk, maka Allah tidak butuh akan dia meninggalkan makanannya dan minumannya.” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, dalam menjalankan ibadah puasa, kita harus tetap berpegang teguh pada kejujuran dalam segala hal.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali godaan untuk berbohong bisa muncul dalam situasi yang sulit atau ketika kita ingin menghindari konsekuensi dari kebenaran. Namun, sebagai umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa, kita harus mampu menahan diri dan memilih jalan kejujuran dalam setiap situasi.

Kejujuran tidak hanya merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT, tetapi juga merupakan fondasi dari hubungan yang sehat dengan sesama manusia. Dengan berpegang teguh pada kejujuran, kita membangun kepercayaan dan menghormati hak-hak orang lain. Selama bulan Ramadan, mari kita tingkatkan kesadaran kita akan pentingnya kejujuran dalam semua tindakan dan perkataan kita, sehingga puasa kita menjadi lebih bermakna dan diterima di sisi Allah SWT.

Berbuat Dzalim

Berbuat dzalim atau menzalimi orang lain juga dapat mengurangi pahala puasa. Dalam Islam, menjaga keadilan dan menghindari penindasan adalah ajaran yang sangat ditekankan. Hal ini mencakup tidak hanya tindakan langsung seperti mencuri atau menipu, tetapi juga meliputi perlakuan tidak adil, penganiayaan, dan eksploitasi terhadap orang lain. Selama bulan Ramadan, ketika kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, kita juga harus memperbaiki hubungan kita dengan sesama manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya banyak orang yang berpuasa, hanya mendapat lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah). Ini menunjukkan pentingnya menjauhi segala bentuk penindasan atau perlakuan tidak adil terhadap sesama manusia.

Menzalimi orang lain tidak hanya merugikan korban, tetapi juga merusak diri kita sendiri. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pahala ibadah puasa kita dan menghalangi kelancaran ibadah kita. Oleh karena itu, selama bulan Ramadan dan juga dalam kehidupan sehari-hari, marilah kita menjauhi segala bentuk dzalim dan berupaya untuk menjadi individu yang adil dan berempati terhadap orang lain. Dengan demikian, kita tidak hanya memperoleh pahala yang lebih besar di sisi Allah SWT, tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih harmonis dan damai.

Memiliki Sikap Buruk

Sikap buruk seperti marah, sombong, atau bermusuhan dapat merusak nilai-nilai ibadah puasa kita. Ketika kita berpuasa, kita diharapkan untuk mengendalikan emosi dan menjaga kesabaran serta kebaikan hati. Marah dan sikap negatif lainnya dapat mengganggu keseimbangan spiritual kita dan mengurangi manfaat yang kita peroleh dari ibadah puasa.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang di antara kamu sedang berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan janganlah bertindak tidak sopan. Jika ada yang memaki atau memerangimu, maka katakanlah, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga perilaku dan sikap yang baik sepanjang waktu.

Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk memelihara kesopanan dan menjauhi perkataan kasar serta perilaku yang tidak pantas, terutama saat kita berpuasa. Bahkan ketika kita dihadapkan pada situasi yang menantang atau orang lain memprovokasi kita, kita harus tetap tenang dan mengingatkan diri sendiri bahwa kita sedang melaksanakan ibadah puasa. Dengan menjaga sikap yang baik dan mengendalikan emosi, kita tidak hanya memperoleh manfaat spiritual yang lebih besar dari ibadah puasa. Tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih damai dan harmonis di sekitar kita.

Mengabaikan Kewajiban Shalat

Shalat adalah tiang agama dan merupakan kewajiban yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Melalaikan shalat atau meninggalkan kewajiban shalat secara sengaja dapat mengurangi pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah akan menutup hatinya.” (HR. Ahmad).

Penting untuk memahami bahwa shalat adalah salah satu rukun Islam yang utama dan menjadi kewajiban bagi setiap Muslim. Shalat bukan hanya sekadar rutinitas ibadah, tetapi juga merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, memperkuat iman, dan memperbaiki hubungan spiritual kita.

Meninggalkan shalat secara sengaja menunjukkan sikap lalai dan kurangnya penghargaan terhadap perintah Allah SWT. Hal ini dapat mengurangi nilai ibadah puasa kita karena puasa yang diterima oleh Allah SWT akan terkait erat dengan kepatuhan kita terhadap seluruh ajaran Islam, termasuk kewajiban shalat.

Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya tentang pentingnya menjaga shalat sebagai bagian integral dari kehidupan beragama. Dengan meninggalkan shalat, kita tidak hanya mengabaikan hubungan kita dengan Allah SWT, tetapi juga membahayakan keadaan spiritual kita.

Dalam menjalankan puasa, penting bagi umat Muslim untuk menjaga kesucian hati dan perilaku mereka. Perbuatan yang menyimpang dari tuntunan agama Islam dapat mengurangi nilai ibadah puasa. Oleh karena itu, marilah kita berusaha menjauhi Perbuatan yang Dapat Mengurangi Pahala Puasa dan semoga kita mendapatkan manfaat spiritual yang sebenarnya dari ibadah Ramadan ini.

Untuk pemesanan Aqiqah praktis dan hemat bisa klik disini.

Peran Komunitas dalam Aqiqah

Ujian Kehidupan

Ujian Kehidupan

Oleh

Ismail Saleh

(Staf Divisi Program NH Semarang)

 

“Dunia ini panggung sandiwawa. Ceritanya mudah berubah”. Itulah sepenggal lirik lagu dari Ahmad Albar yang  berjudul “Panggung Sandiwara”. Jikalau kita coba renungkan lebih dalam maka hal tersebut adalah benar adanya. Coba kita lihat pada surat Al An’am ayat 32 yang menyatakan bahwa dunia ini hanyalah senda gurau atau permainan belaka. “ Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan sendagurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka Tidaklah kamu memahaminya!”. Waktu dalam menjalani hidup dengan cepat berlalu. Roda kehidupan dunia ini juga terkadang berputar dengan cepat. Ada kalanya seseorang berada di atas dan tiba-tiba berada dibawah. Begitu juga sebaliknya, ada yang dahulunya hidup susah kemudian berubah hidup mewah.

Kesusahan hidup merupakan bagian dari ujian kehidupan. Ditimpa bencana alam, terkena penyakit, hidup dalam kemiskinan, dan berbagai macam kesusahan hidup lainnya. Pada umumnya naluri beragama seseorang mendadak menjadi semakin menguat saat ia berada dalam kesusahan. Perbuatan-perbuatan dosa ditinggalkan, Ibadah-ibadah wajib diperbaiki kualitasnya dan  ibadah-ibadah sunnah juga diperbanyak intensitasnya. Mereka tersadar bahwasanya tiada daya dan upaya selain dari Allah SWT. Allah lah satu-satunya Dzat yang dapat menolong mereka untuk keluar dari kesusahan hidup.

Namun pernahkah kita berfikir juga bahwa kenikmatan dunia yang kita rasakan adalah bagian dari ujian kehidupan ? Sejatinya fase kesusahan hidup dan kesenangan dalam hidup merupakan bentuk ujian dari Allah SWT seperti yang disebutkan dalam surat Al A’raf ayat 168 “Kami coba mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk.” Mungkin belum banyak orang yang menyadari akan hal ini. Mereka tidak menganggap kesenangan hidup sebagai ujian namun lebih memandangnya sebagai sebuah nikmat belaka. Menikmati kesenangan dunia secara berlebihan malah akan menjadi kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat. Betapa banyak contoh orang-orang kaya yang bergelimpangan harta kemudian miskin mendadak karena kerakusannya sendiri. Belum lagi para pejabat yang dengan sewenang-wenang menggunakan kekuasannya malah kemudian menjadi hina dina dibalik jeruji penjara. Sungguh banyak contoh-contoh lainnya diluar sana yang menunjukkan bahwa kebanyakan manusia justru gagal saat menghadapi ujian berupa kesenangan hidup.

Bahkan Rasulullah SAW pun pernah bersabda “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi aku justru khawatir (kalau-kalau) kemegahan dunia yang kalian dapatkan, yaitu sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang sebelum kalian akan membuat kalian bergelimang dalam kemewahan itu sehingga kalian binasa, sebagaimana yang dialami oleh orang-orang sebelum kalian.” (HR Muslim)

Lalu bagaimanakah caranya agar kita dapat melewati segala bentuk ujian kehidupan dengan baik ? Jawabannya adalah dengan bekal iman dan taqwa kepada Allah SWT. Allah akan memberi jalan keluar dari kesulitan hidup yang kita hadapi seperti yang sudah di Firmankan dalam surat  At Thalaq Ayat 2 “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. Saat kemegahan dunia hadir dalam kehidupan kita maka Allah SWT akan menjaga diri kita dengan kemampuan membedakan antara yang haq dengan yang batil sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi lewat ujian kesenangan hidup. Dalam surat Al Anfal ayat 29 Allah SWT berfirman “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Salah satu contoh nyata dari keberhasilan manusia melewati ujian kehidupan ada dalam kisah hidup Nabi Ayub a.s. Nabi Ayub adalah seorang yang kaya raya. Istrinya banyak, anaknya banyak, hartanya melimpah ruah dan ternaknya tak terbilang jumlahnya. la hidup makmur dan sejahtera. Walau demikian ia tetap tekun beribadah. Segala nikmat dan kesenangan yang di karuniakan kepadanya tak sampai melupakannya kepada Allah. Ia gemar berbuat kebajikan, suka menolong orang yang menderita terlebih dari golongan fakir miskin. Sampai suatu ketika Allah memperkenankan para iblis untuk coba merobohkan ketaqwaan Nabi Ayub. Satu persatu hewan-hewan ternaknya mati bergelimpangan disusul lumbung-lumbung gandum dan lahan pertanian Nabi Ayub terbakar dan musnah. Semua anak Nabi Ayub juga akhirnya meninggal dunia. Setelah itu, Nabi Ayub terkena penyakit kulit menjijikan hingga diasingkan oleh masyarakat dan ditinggalkan oleh semua istrinya. Dalam hidup kesendirian ditempat pengasingan, Nabi Ayub tetap bersabar untuk memegang teguh keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hingga pada akhirnya Allah SWT menyembuhkan penyakit kulit yang di derita Nabi Ayub, Allah menitipkan kembali harta benda yang melimpah, dan salah satu istrinya yang paling setia yaitu Rahmah juga akhirnya kembali kepada beliau. Dari Rahmah ia mendapat anak bernama Basyar, dikemudian hari ia mendapat julukan Dzulkifli artinya : Punya Sanggup. Dzulkifli akhirnya juga menjadi Nabi dan Rasul. Subhanallah!

Ujian kehidupan seyogyanya merupakan cara Allah SWT untuk dapat mengetahui seorang hamba benar-benar beriman dan bertaqwa kepadaNya atau tidak. Dalam surat Al Baqarah ayat 2-3 Allah SWT berfirman Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” Marilah saudaraku kita senantiasa berdoa dan berusaha sekuat tenaga agar tetap istiqomah memegang teguh syariat islam baik itu dalam kondisi susah maupun senang.

Allah Maha Mencukupi

Oleh

Ismail Saleh

(Staf Layanan Sosial dan Dakwah Yayasan Nurul Hayat Cabang Semarang)

Bekerja di Nurul Hayat merupakan suatu berkah tersendiri bagi diri saya prribadi. Saya bisa merasakan suasana lingkungan kerja yang islami, mendapatkan teman-teman kerja yang bisa saling mengingatkan dalam kebaikan, serta dapat mengambil hikmah dari pengalaman kerja  yang dialami. Pada cerita hikmah kali ini, saya akan coba menceritakan dan mengungkap hikmah salah satu pengalaman kerja ketika berada di bagian program. Kejadian ini saya alami ketika saya mencari peserta untuk program IBUQU (Insentif Bulanan Guru Quran) di sekitar Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur. Dalam usaha pencarian tersebut saya dipertemukan oleh Allah SWT dengan salah satu Guru TPQ yang luar biasa bernama Pak Abdul Jawad.

Perlu diketahui bahwa daerah Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur merupakan salah satu daerah minus di Kota Semarang. Masyarakatnya banyak yang tergolong ke dalam menengah kebawah secara ekonomi, jumlah pengangguran tinggi, keadaan moral masyarakatnya juga mayoritas kurang baik, dan sering kali menjadi langganan banjir baik itu banjir rob (banjir karena naiknya air laut ke daratan) maupun banjir saat musim penghujan. Di tengah –tengah kondisi yang demikian Pak Jawad dengan keihklasan dan dedikasi yang tinggi selama puluhan tahun telah mengajarkan Al Quran kepada anak-anak sekitarnya melalui TPQ  dan PAUD yang beliau kelola bersama istrinya. Beliau tidak mematok bayaran tertentu kepada anak-anak yang yang ikut TPQ dan PAUDnya. Bahkan tidak sedikit juga anak-anak yang tidak membayar sama sekali. “Kalau saya sendiri gak mematok bayaran mas karena kondisi masyarakat disini memang kebanyakan kurang mampu dan kalau di patok bayaran tertentu malah mereka gak mau ngaji kan repot. Keadaan lingkungannya sudah kayak gini, kalau gak lewat ngaji quran apalagi yang bisa membentengi mereka mas” begitu ujar bapak tiga orang anak ini.

Keluarga Pak Jawad sendiri hanya mengandalkan pemasukan dari mengajar TPQ dan PAUD yang tidak pasti jumlahnya dan kalaupun ada jumlahnya tidak begitu besar. Meski begitu, keluarganya terlihat sangat bahagia dan harmonis. Sikap keluarganya pun sangat ramah dan tidak sungkan juga untuk berbagi di tengah kondisi mereka yang seperti itu. Aneka macam camilan dan juga makanan berat langsung disuguhkan kepada saya pada saat saya bersilaturahmi ke rumah beliau. Selesai menyantap makanan yang dihidangkan, saya bertanya-tanya kepada Pak Jawad tentang keluarganya. “jenengan punya berapa putra putri pak ?” Beliau menjawab “saya punya tiga orang anak dan semuanya perempuan. Yang paling kecil masih SD dan yang nomor 1 dan 2 kuliah mas.” Mendengar jawaban beliau saya pun langsung bertanya-tanya dalam hati, “bagaimana mungkin dengan profesi yang beliau jalani saat ini bisa sampai mengkuliahkan 2 orang anaknya ? darimana beliau dapat uang untuk membiayainya ?” sangat tidak masuk diakal beliau bisa membiayai.

Beliaupun bercerita kalau anak pertamanya mendapatkan beasiswa dari UIN Malang karena mengikuti program beasiswa khusus pengahafal al quran. Anak pertamanya sendiri ternyata sudah hafal lebih dari 10 juz. Kuliahnya gratis, di asramakan, dan masih mendapat uang saku dari UIN. Sementara anak keduanya mendapat beasiswa dari IAIN Semarang. Subhanallah. Betapa Allah Maha Mencukupi kebutuhan hambaNya. “Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis. Dan sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan. Dari mani, apabila dipancarkan. Dan sesungguhnya Dialah yang menetapkan penciptaan yang lain (kebangkitan setelah mati). Dan sesungguhnya Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (Q.S. An Najm Ayat 43-48). Dalam Ayat 43 sampai dengan 46 Allah SWT selalu memasangkan dua hal yang bertolak belakang yaitu tertawa dengan menangis, mematikan dengan menghidupkan, laki-laki dengan perempuan. Sedangkan dalam ayat 48 Allah SWT tidak masangkan hal yang bertolak belakang yaitu kekayaan dengan kemiskinan, namun kekayaan dengan kecukupan.

Sungguh pengalaman saya tersebut telah menjadi salah satu bukti nyata dari QS An Najm Ayat 48. Lalu kenapa masih saja ada yang dalam keadaan serba kurang atau miskin ? atau mungkin ada yang mengalami kejadian 1001 usahanya tak kunjung berbuah, seakan seluruh makhluk menutup usaha kita, gampang putus asa, uang banyak namun menguap entah kemana, uang banyak malah sering apes/sial. Tidak lain dan tidak bukan penyebabnya adalah karena manusia itu sendiri. Manusilah yang kemudian menjadikan rezekinya tersendat atau tersumbat. Secara umum ada 2 hal yang menyebabkan hal tersebut yaitu yang pertama karena dosa-dosa yang telah dilakukan. “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki karena perbuatan dosanya. (HR Ahmad)”. Ibararat kata seperti halnya saluran kran air kamar mandi yang ada di rumah kita. Entah darimana tanpa sengaja ada yang menyumbat ke saluran tersebut, sehingga menghalangi jalan air yang seharusnya dapat mengalir lancar. Airnya masih ada di dalam pipa atau saluran tersebut, Cuma aja tidak bisa mengalir dikarenakan tersumbat. Begitu pula dengan dosa yang akan menyumbat saluran rezeki kita. Kemudian yang kedua adalah dikarenakan seseorang lebih mementingkan keinginan dibandingkan dengan kebutuhan. Semisal saja kebutuhan seseorang hanya untuk berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat dan uang gajinya juga tidak besar maka sebenarnya ia hanya butuh sepeda motor bebek. Namun karena terlalu menuruti keinginannya maka ia malah membeli sepeda motor laki-laki atau malah memakasakan membeli mobil. Akibatnya ia mempunyai hutang yang diluar kemampuan yang akhirnya malah menyusahkan kehidupan nya sendiri. Oleh karena itu, marilah kita yakini bersama bahwa Allah SWT pasti mencukupi kebutuhan para hambaNya yang beriman dan bertaqwa kepadaNya.

Lihat tukang parkir…
walaupun banyak mobil, tidak pernah sombong…
walaupun mobilnya ganta-ganti, tidak takabur…
di ambil sampai habis, tidak sakit hati…
coolll…coolll…coolll…tenang…

kenapa bisa begitu ???

sebab tukang parkir tidak merasa memiliki tapi hanya merasa ter titipi…
*Rumus diatas mengutip dari tausiyah Aa Gym dengan judul “Rahasia Tenang Dunia Akhirat”

Kita selalu bertanya dan Quran sudah menjawabnya.

Kita bertanya: Kenapa aku diuji?
Quran menjawab , “Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan saja mengatakan ,” Kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka , maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar , dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta.” Surah al-Ankabut , ayat 2-3.

Kita bertanya : Kenapa aku tak dapat apa yang aku idam-idamkan?
Quran menjawab ,” Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu , padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [Surah al-Baqarah , ayat 216.]

Kita bertanya : Kenapa ujian seberat ini?
Quran menjawab ,” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [Surah al-Baqarah, ayat 286.]

Kita bertanya : Kenapa kita rasa frustasi?
Quran menjawab ,” Janganlah kamu bersikap lemah , dan janganlah pula kamu bersedih hati , padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi darjatnya , jika kamu orang-orang yang beriman. “ [Surah Ali Imran , ayat 139.]

Kita bertanya : Bagaimana harus aku menghadapinya?
Quran menjawab ,” Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” [Surah al-Baqarah ayat 45.]

Kita bertanya : Kepada siapa aku berharap?
Quran menjawab,” Cukuplah Allah bagiku , tidak ada Tuhan selain daripadanya. Hanya kepadanya aku bertawakal .” [Surah at-Taubah, ayat 129.]

Kita bertanya : Apa yang aku dapat daripada semua ujian ini?
Quran menjawab ,” Sesungguhnya Allah telah membeli daripada orang-orang mukmin , diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka.” [Surah at-Taubah , ayat 111.]

Kita berkata : Aku tak tahan!
Quran menjawab ,”….dan janganlah kamu ber putus asa daripada rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa daripada rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” [Surah Yusuf , ayat 12.]

Kita berkata: Sampai bila aku akan merana begini
Quran menjawab,” Kerana sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. “ [Surah al-Insyirah, ayat 5-6.]

sumber: iloveallah.com

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an, “..Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Ayat diatas menunjukkan bahwa dalam bermunajat (berdoa) kepada Allah SWT, sebelum manusia mendapatkan hasil dari permintaannya, manusia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syaratnya. Yakni dengan menjalani semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Apabila mereka telah memenuhi semua syarat tersebut, maka Allah akan mengabulkan permohonannya sesuai dengan janji-Nya. Dan jika mereka masih dan sering melakukan perbuatan-perbuatan dosa baik besar maupun kecil, maka Allah tidak akan mengabulkannya sebanyak apapun mereka berdoa atau bermunajat kepada-Nya.

Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kesucian pada jiwa seseorang, apapun yang dia harapkan maka Allah SWT akan memberikannya. Mari kita renungi falsafah-falsafah berikut.

Bagi orang yang berakal sehat apabila kita ingin bertemu dengan seorang kekasih, sudah pasti kita akan membersihkan badan kita terlebih dahulu dengan mandi, menggosok gigi, menyisir rambut, memakai wewangian dan mengenakan pakaian yang bersih dan indah atau yang terbaru. Secara Otomatis kekasih kita akan menyambut dan menerima kedatangan kita dengan suka cita serta penuh rasa cinta dan kasih sayang.

Bayi suci sangat terikat batinnya dengan Sang Pencipta hingga jika dia membutuhkan pertolongan maka pertolongan itu akan langsung datang dari Allah SWT melalui orang-orang disekitarnya. Dan memang pada dasarnya, bayi suci itu selalu meminta pertolongan langsung kepada Tuhannya. Sebagai contoh, seorang bayi mungil yang membutuhkan suatu pertolongan ketika dia lapar dan haus maka dia akan mengekspresikannya dengan cara menangis atau dengan teriakan-teriakan. Tanpa kita sadari pertolongan dari sang ibu ataupun sang ayah akan cepat datang. Mereka para orangtua dengan cepat dan sigap akan menghampirinya untuk menenangkan sang bayi dengan memberikannya ASI atau makanan bubur, atau mungkin bayinya mengompol, maka orangtuanya akan mengurusnya dan membersihkan serta menggantikan pakaiannya, dan lain sebagainya hingga sang bayi merasa nyaman serta tenang kembali dan sudah pasti kebutuhan sang bayi terpenuhi.

Begitu pula dengan kita sebagai manusia dewasa yang tidak luput dari kesalahan dan dosa yang telah banyak mengotori jiwa kita yang tadinya suci. Dosa-dosa telah menghalangi terkabulnya doa kita kepada Allah, dosa-dosa telah menjadi hijab (penghalang) jalannya komunikasi antara kita dengan Allah SWT. Seorang penyair pernah berkata, “Bagaimana mungkin kita mengharap terkabulnya doa, sedangkan kita sudah menutup jalannya dengan dosa dan maksiat”. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, kalau kalian melakukan (dosa) maka pasti Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan”. (HR. Tirmidzi)

Hendaknya kita berusaha untuk mengembalikan kesucian yang dahulu pernah kita miliki dengan jalan bertobat yang sebenar-benar tobat, beristighfar memohon ampunan, beribadah sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT demi mennyucikan jiwa kita untuk kembali kepada fitrah agar segala doa dan hajat kita cepat mendapatkan ijabah (dikabulkan) oleh Allah SWT.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

“Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu).” (QS. Faathir: 18)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri.” (QS. Al-A’la: 14)

Setelah kesucian diri kita dapati, selanjutnya berdoalah dengan adab-adab (tata cara berdoa yang baik) yang telah diajarkan oleh nabi kita Muhammad SAW. Semoga kita semua dapat kembali kepada fitrah untuk menjadikan segala doa yang kita panjatkan makbul dan mendapatkan ijabah terbaik serta mendekatkan diri kita kepada Yang Maha Suci, Allah SWT. Ilahi Amin. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.


Artist : Chrisye
Lirik Lagu : Chrisye – Ketika Tangan dan Kaki Berkata

Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lgi

Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba…

Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya
Sempurna

Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu
Yang hina

Cinta sejati hanyalah pada Rabbul Izzati. Cinta yang takkan bertempuk sebelah tangan. Namun Allah tidak egois mendominasi cinta hamba-Nya. Dia berikan kita cinta kepada anak, istri, suami, orang tua, kaum muslimin. Tapi cinta itu tentu porsinya tidak melebihi cinta kita pada Allah, karena Allah mengatakan, “Katakanlah! ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta-benda yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatiri akan merugi dan rumah tangga yang kamu senangi (manakala itu semua) lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan berjiha di jalan-Nya, maka tunggulah keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” Cinta. Sebuah kata singkat yang memiliki makna luas. Walaupun belum teridentifikasi secara pasti, namun eksistensi cinta diakui oleh semua orang. Al-Ghazali mengatakan cinta itu ibarat sebatang kayu yang baik. Akarnya tetap di bumi, cabangya di langit dan buahnya lahir batin, lidah dan anggota-anggota badan. Ditujukan oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari cinta itu dalam hati dan anggota badan, seperti ditujukkanya asap dalam api dan ditunjukkanya buah dan pohon.Prestasi kepahlawanan para pejuang tidak terlepas dari pengaruh cintanya seorang pemuda kepada pemudi. Umar bin Abdul Aziz berhasil memenangkan pertarungan cinta sucinya kepada Allah dari pada cinta tidak bertuannya kepada seorang gadis. Tidak ada yang salah pada cinta. Berusahalah menempatkannya pada tempat, waktu dan sisi yang tepat. Ya Allah, jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu, agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-MuYa Allah, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.Ya Rabbana, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada hati-Mu.Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu.Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu, jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu, jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu.Ya Allah Engaku mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Kokohkanlah ya Allah ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengna limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu. (Yesi Elsandra, special untuk yang saling mencintai karena-Nya)

Sebenarnya adakah ilmu ikhlas itu? Saya pernah melihat sebuah film yang menceritakan tentang seseorang yang dengan gigihnya mengejar seorang gadis anak seorang kyai. Dengan kenekatannya di berusaha mendekati gadis itu, biarpun ada halangan dari orangtua si gadis. Dia tetap nekat biarpun kyai bapak gadis tadi mengajukan syarat-syarat yang mungkin dirasa berat bagi orang yang tidak biasa melakukan. Tetapi demi mendapatkan seseorang yang dicintai, maka seberat apapun syarat tersebut ia sanggupi juga. Maka rangkaian kejadian yang lucu, mengharukan, bahkan konyol terjadi dalam film tadi. Bagaimana si pemuda tadi belajar untuk menjalankan syarat yang diajukan ayah si gadis. Sampai akhirnya tibalah penentuan tersebut. Ternyata si gadis telah dijodohkan oleh pemuda lain yang menurut pandangan dari pak kyai lebih memenuhi syarat sebagai manantunya. Dan pak kyai mengajukan satu syarat lagi yaitu si pemuda harus menguasai apa yang dinamakan ilmu ikhlas, yang ternyata maksud dari pak kyai adalah bahwa si pemuda harus mengikhlaskan jikalau si gadis telah dijodohkan dengan orang lain. Dengan ketabahan dan gentle maka si pemuda pun tidak keberatan jika si gadis telah mempunyai jodoh yang lain selain dirinya. Dia telah mengikhlaskan kalau si gadis memang bukan untuknya. Tetapi ternyata pak kyai malah terkesan dengan apa yang dilakukan oleh pemuda tadi. Menurut pak kyai dialah yang telah dapat menguasai apa yang di namakan ilmu ikhlas. Akhirnya bisa ditebak ending dari film tadi.

 

Kalau kita lihat berdasarkan paparan diatas memang apa yang dinamakan ilmu ikhlas itu adalah sesuatu yang harus kita relakan kalau memang itu belum menjadi hak kita. Tetapi kadang kita sebagai manusia yang penuh dengan ego yang tinggi tidak bisa terima dan mungkin akan menyalahkan orang lain apabila tujuan atau sesuatu yang kita harapkan tidak kita dapatkan. Dan hal itu sering terjadi pada kita sebagai manusia yang penuh dengan ketidak sempurnaan. Seringkali malah terjadi penipuan pada hati kecil kita. Kita sering berkata pada orang lain bahwa kita rela melepas sesuatu entah itu apa, tetapi dalam hati kecil kita masih tidak rela kenapa hal itu bisa terjadi, apa yang menjadi kesalahan kita sehingga sesuatu yang kita harapkan ternyata tidak bisa kita raih, atau kita ambil.

 

Itulah kelemahan kita sebagai manusia biasa, yang kadang dengan kecongkakan dan kepongahan kadang lupa bahwa masih ada yang mengatur kita sesuai jalur yang ada. Kita sebagai manusia masih sering lupa bahwa dibalik semua yang terjadi akan ada hikmah yang mungkin akan kita ketahui kelak di kemudian hari. Perkataan orang yang mengatakan bahwa kalau kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan saya percaya itu

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.

Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.

Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

 

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.

 

Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.

Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

 

Maka gadis cilik itu bangkit.

Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.

 

Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.

 

Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

Mengagumkan!

 

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

 

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.

Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.

Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.

Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

 

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan membelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

 

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.

Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

 

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

 

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

 

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.

Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

 

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak.

 

Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

 

’Umar ibn Al Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.

Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?

Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?

Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

 

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

 

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.

’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.

Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.

”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.

Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.

’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

 

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Ia mengambil kesempatan.

Itulah keberanian.

Atau mempersilakan.

Yang ini pengorbanan.

 

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?

 

Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?

Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?

Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.

Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?

Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?

Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

 

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

 

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

 

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.

Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

 

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.

 

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.

Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.

Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

 

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.

Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

 

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!

Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

 

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

 

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.

Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,

 

“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

 

Inilah jalan cinta para pejuang.

Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.

Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.

Yang pertama adalah pengorbanan.

Yang kedua adalah keberanian.

 

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

 

dalam suatu riwayat dikisahkan

 

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

 

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

 

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

 

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

 

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

 

 

~yang salah dari pacaran itu bukan perasaannya, melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak…~

 

🙂 semoga istiqomah, ini memang tidak mudah. 🙂

 

 

Baarakallaahufiikum….

 

 

Source : Jalan cinta para pejuang Salim . A.fillah

Sirah Shahabat & Shahabiyah